Oleh: Fahrul Ramadhan
Departemen Organisasi dan Jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia (DOJ KPP SMI)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung oleh pasangan Prabowo-Gibran telah menarik perhatian publik sebagai upaya untuk mengatasi masalah gizi anak-anak di Indonesia. Namun, meski tampak sebagai kebijakan populis yang menguntungkan, kita harus meragukan apakah benar-benar "gratis" bagi masyarakat?
Atau justru sebaliknya, negara sedang membangun rumah makan skala besar? Saya memberikan istilah "Mega Restoran". Pada kenyataannya, dana untuk program ini berasal dari pajak rakyat, yang berarti masyarakat tetap menanggung biaya.
Ilusi "Gratis" yang Menyesatkan
Mengapa program ini disebut gratis? Padahal anggarannya berasal dari APBN yang bersumber dari pajak rakyat. Kalau kita sepakat bahwa ini benar-benar gratis, berarti kita sudah masuk ke dalam jebakan logical fallacy.
Secara terang-terangan, negara mengalokasi anggaran buat MBG, sebagian berasal dari anggaran pendidikan. Anggaran untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam APBN 2025 adalah Rp 71 triliun, atau sekitar 10% dari anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan tahun 2025 direncanakan mencapai Rp 722,6 triliun.
Diwartakan oleh KOMPAS.com, Tri Indrawati, 7 Januari 2025, pemerintah menetapkan anggaran yang diproyeksikan mencapai Rp 420 triliun untuk menjalankan program makan bergizi gratis selama Januari hingga Desember 2025.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa anggaran sebesar Rp 71 triliun telah disiapkan untuk melaksanakan program tersebut hingga Juni 2025. Ia menambahkan bahwa terdapat kemungkinan penambahan anggaran mulai Juli hingga Desember 2025 guna memperluas cakupan penerima manfaat program makan bergizi gratis.
"Kalau tambahan anggaran sebesar Rp 140 triliun mulai Juli disetujui, seluruh anak di Indonesia akan mendapatkan makanan bergizi," ujar Zulhas dalam rapat koordinasi di Surabaya pada Selasa (7/1/2025). "Dengan demikian, total anggaran hingga akhir 2025 bisa mencapai Rp 210 triliun. Jika dihitung untuk periode penuh Januari hingga Desember, total anggaran yang dibutuhkan dapat menembus Rp 420 triliun."
Sekali lagi, di mana letak gratisnya program ini? Rakyat Indonesia sudah terhegemoni dengan narasi yang dibungkus dengan eksploitasi bahasa. Negara masih mencari cara lain yang dirasa tepat untuk memenuhi anggaran MBG ini, salah satunya melalui kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Terakhir ini, muncul klarifikasi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen hanya akan diterapkan pada barang dan jasa sangat mewah, seperti jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah.
Logika di atas ini hanya bisa diterima oleh mereka yang tidak berpikir struktural. Yang memiliki barang mewah, perusahaan, atau mobil mahal memang orang kaya. Tetapi, yang dipekerjakan oleh orang kaya tersebut adalah rakyat miskin.
Kenaikan PPN 12% tetap akan ditanggung oleh rakyat miskin yang tidak memiliki barang mewah. Sebab, orang-orang kaya yang mempekerjakan rakyat miskin tersebut akan bertindak semena-mena. Salah satu dampaknya, kenaikan PPN akan memperkuat legitimasi mereka untuk menerapkan upah murah, kenaikan BBM, biaya pendidikan, transportasi, dan sebagainya.
Dalam sistem kapitalisme, konsep "gratis" sering kali merupakan ilusi karena biaya tetap ditanggung oleh masyarakat, terutama kelas pekerja, baik melalui pajak, utang negara, atau bahkan eksploitasi sumber daya. Program semacam ini cenderung digunakan untuk menjaga stabilitas dan memperpanjang keberlangsungan sistem kapitalis, alih-alih benar-benar menghapus ketimpangan struktural.
Rakyat Menanggung Beban Ganda
Setelah anggaran pendidikan dipergunakan untuk MBG, rakyat harus menanggung mahalnya pendidikan. Mau tidak mau, kalau konsep awalnya seperti sekarang, rakyat akan selalu berada dalam jebakan narasi populis yang mengutamakan rezim berkuasa.
Yang sebenarnya, subsidi tersebut bersumber dari kerja keras masyarakat itu sendiri. Kini, masyarakat dituntut untuk bekerja lebih ekstra lagi guna menutupi program populis pemerintah.
Program MBG memang bertujuan untuk membantu masyarakat, tetapi jika pembiayaannya berasal dari anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan atau sektor lainnya, maka ini menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya.
Kenaikan pajak dan harga BBM yang terus meningkat semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan bawah. Sebagai imbalannya, meskipun mendapat bantuan, rakyat tetap merasakan beban finansial yang lebih berat karena kenaikan biaya hidup.
Kebijakan tersebut seharusnya lebih terintegrasi dan berpihak pada kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya solusi instan yang memperburuk ketidaksetaraan. Keseimbangan antara subsidi, pajak, dan anggaran pendidikan harus dipertimbangkan agar rakyat tidak terjebak dalam beban ganda.
Defisit anggaran negara yang disebabkan oleh alokasi dana besar untuk program seperti makan bergizi gratis berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan. Ketika anggaran terbatas, sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang juga memerlukan pendanaan akan terancam. Penurunan anggaran untuk layanan publik dapat mengurangi kualitas layanan yang diterima rakyat, meningkatkan ketidakpuasan masyarakat, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Kalkulasi pemerintah memang tidak salah. Semua ini sudah masuk dalam standard setting negara pro-kapitalis, bahwa rakyat harus dimiskinkan, biar mereka tidak memiliki apa-apa selain tenaga. Tidak heran rakyat miskin makin banyak, karena jumlah orang kaya makin sedikit.
*Kepada Siapa MBG Diberikan?*
Kenapa tidak pendidikan gratis? Apakah pemerintah mampu merealisasikan makan bergizi gratis (MBG) dengan efektif? Bagaimana mekanisme penyaluran makan bergizi gratis agar tepat sasaran? Siapa saja yang diuntungkan dalam program MBG ini? Apakah program ini benar-benar menyasar kelompok yang paling membutuhkan, atau justru hanya menyentuh sebagian kecil populasi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan satu prinsip dasar: "Orang akan berpikir tentang kebutuhannya yang lain, setelah kebutuhan perutnya terpenuhi (kenyang)." Memastikan kebutuhan dasar seperti pangan yang layak adalah langkah fundamental sebelum berbicara mengenai peningkatan kualitas hidup yang lebih kompleks seperti pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Namun, dalam implementasinya, penting untuk mengkritisi cakupan program MBG yang saat ini hanya diperuntukkan bagi anak sekolah. Padahal, kebutuhan dasar akan pangan yang bergizi merupakan hak mendasar bagi seluruh rakyat, terutama mereka yang berada dalam kondisi kelaparan, fakir miskin, dan kelompok rentan lainnya seperti lansia, pekerja informal, dan pengangguran.
Untuk memenuhi kebutuhan daging dan bahan pangan lainnya dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), seharusnya sumbernya berasal dari rakyat Indonesia sendiri, bukan dengan mengandalkan impor, seperti daging impor.
Seperti dikutip dari Tempo pada 9 Januari 2025, Indonesia berencana mengimpor sebanyak 2 juta ekor sapi perah dan sapi pedaging hingga tahun 2029. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menyatakan bahwa impor tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan program Makan Bergizi Gratis.
Kebijakan ini berpotensi merugikan para peternak lokal. Seharusnya, pemerintah mendorong kedaulatan pangan dengan memberdayakan produksi dalam negeri agar dapat mendukung program MBG. Jika sejalan dengan konsep hilirisasi, program ini akan terintegrasi dengan upaya industrialisasi nasional, menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan sekaligus memperkuat perekonomian rakyat.
Seharusnya, program ini dirancang dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif, mencakup seluruh lapisan masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa MBG tidak hanya menjadi kebijakan populis yang bersifat sementara, tetapi benar-benar menjadi upaya nyata dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial secara struktural.
Ilusi "Gratis" yang Menyesatkan
Mengapa program ini disebut gratis? Padahal anggarannya berasal dari APBN yang bersumber dari pajak rakyat. Kalau kita sepakat bahwa ini benar-benar gratis, berarti kita sudah masuk ke dalam jebakan logical fallacy.
Secara terang-terangan, negara mengalokasi anggaran buat MBG, sebagian berasal dari anggaran pendidikan. Anggaran untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam APBN 2025 adalah Rp 71 triliun, atau sekitar 10% dari anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan tahun 2025 direncanakan mencapai Rp 722,6 triliun.
Diwartakan oleh KOMPAS.com, Tri Indrawati, 7 Januari 2025, pemerintah menetapkan anggaran yang diproyeksikan mencapai Rp 420 triliun untuk menjalankan program makan bergizi gratis selama Januari hingga Desember 2025.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menjelaskan bahwa anggaran sebesar Rp 71 triliun telah disiapkan untuk melaksanakan program tersebut hingga Juni 2025. Ia menambahkan bahwa terdapat kemungkinan penambahan anggaran mulai Juli hingga Desember 2025 guna memperluas cakupan penerima manfaat program makan bergizi gratis.
"Kalau tambahan anggaran sebesar Rp 140 triliun mulai Juli disetujui, seluruh anak di Indonesia akan mendapatkan makanan bergizi," ujar Zulhas dalam rapat koordinasi di Surabaya pada Selasa (7/1/2025). "Dengan demikian, total anggaran hingga akhir 2025 bisa mencapai Rp 210 triliun. Jika dihitung untuk periode penuh Januari hingga Desember, total anggaran yang dibutuhkan dapat menembus Rp 420 triliun."
Sekali lagi, di mana letak gratisnya program ini? Rakyat Indonesia sudah terhegemoni dengan narasi yang dibungkus dengan eksploitasi bahasa. Negara masih mencari cara lain yang dirasa tepat untuk memenuhi anggaran MBG ini, salah satunya melalui kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Terakhir ini, muncul klarifikasi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen hanya akan diterapkan pada barang dan jasa sangat mewah, seperti jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah.
Logika di atas ini hanya bisa diterima oleh mereka yang tidak berpikir struktural. Yang memiliki barang mewah, perusahaan, atau mobil mahal memang orang kaya. Tetapi, yang dipekerjakan oleh orang kaya tersebut adalah rakyat miskin.
Kenaikan PPN 12% tetap akan ditanggung oleh rakyat miskin yang tidak memiliki barang mewah. Sebab, orang-orang kaya yang mempekerjakan rakyat miskin tersebut akan bertindak semena-mena. Salah satu dampaknya, kenaikan PPN akan memperkuat legitimasi mereka untuk menerapkan upah murah, kenaikan BBM, biaya pendidikan, transportasi, dan sebagainya.
Dalam sistem kapitalisme, konsep "gratis" sering kali merupakan ilusi karena biaya tetap ditanggung oleh masyarakat, terutama kelas pekerja, baik melalui pajak, utang negara, atau bahkan eksploitasi sumber daya. Program semacam ini cenderung digunakan untuk menjaga stabilitas dan memperpanjang keberlangsungan sistem kapitalis, alih-alih benar-benar menghapus ketimpangan struktural.
Rakyat Menanggung Beban Ganda
Setelah anggaran pendidikan dipergunakan untuk MBG, rakyat harus menanggung mahalnya pendidikan. Mau tidak mau, kalau konsep awalnya seperti sekarang, rakyat akan selalu berada dalam jebakan narasi populis yang mengutamakan rezim berkuasa.
Yang sebenarnya, subsidi tersebut bersumber dari kerja keras masyarakat itu sendiri. Kini, masyarakat dituntut untuk bekerja lebih ekstra lagi guna menutupi program populis pemerintah.
Program MBG memang bertujuan untuk membantu masyarakat, tetapi jika pembiayaannya berasal dari anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan atau sektor lainnya, maka ini menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya.
Kenaikan pajak dan harga BBM yang terus meningkat semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan bawah. Sebagai imbalannya, meskipun mendapat bantuan, rakyat tetap merasakan beban finansial yang lebih berat karena kenaikan biaya hidup.
Kebijakan tersebut seharusnya lebih terintegrasi dan berpihak pada kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya solusi instan yang memperburuk ketidaksetaraan. Keseimbangan antara subsidi, pajak, dan anggaran pendidikan harus dipertimbangkan agar rakyat tidak terjebak dalam beban ganda.
Defisit anggaran negara yang disebabkan oleh alokasi dana besar untuk program seperti makan bergizi gratis berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan. Ketika anggaran terbatas, sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang juga memerlukan pendanaan akan terancam. Penurunan anggaran untuk layanan publik dapat mengurangi kualitas layanan yang diterima rakyat, meningkatkan ketidakpuasan masyarakat, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Kalkulasi pemerintah memang tidak salah. Semua ini sudah masuk dalam standard setting negara pro-kapitalis, bahwa rakyat harus dimiskinkan, biar mereka tidak memiliki apa-apa selain tenaga. Tidak heran rakyat miskin makin banyak, karena jumlah orang kaya makin sedikit.
*Kepada Siapa MBG Diberikan?*
Kenapa tidak pendidikan gratis? Apakah pemerintah mampu merealisasikan makan bergizi gratis (MBG) dengan efektif? Bagaimana mekanisme penyaluran makan bergizi gratis agar tepat sasaran? Siapa saja yang diuntungkan dalam program MBG ini? Apakah program ini benar-benar menyasar kelompok yang paling membutuhkan, atau justru hanya menyentuh sebagian kecil populasi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan satu prinsip dasar: "Orang akan berpikir tentang kebutuhannya yang lain, setelah kebutuhan perutnya terpenuhi (kenyang)." Memastikan kebutuhan dasar seperti pangan yang layak adalah langkah fundamental sebelum berbicara mengenai peningkatan kualitas hidup yang lebih kompleks seperti pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Namun, dalam implementasinya, penting untuk mengkritisi cakupan program MBG yang saat ini hanya diperuntukkan bagi anak sekolah. Padahal, kebutuhan dasar akan pangan yang bergizi merupakan hak mendasar bagi seluruh rakyat, terutama mereka yang berada dalam kondisi kelaparan, fakir miskin, dan kelompok rentan lainnya seperti lansia, pekerja informal, dan pengangguran.
Untuk memenuhi kebutuhan daging dan bahan pangan lainnya dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), seharusnya sumbernya berasal dari rakyat Indonesia sendiri, bukan dengan mengandalkan impor, seperti daging impor.
Seperti dikutip dari Tempo pada 9 Januari 2025, Indonesia berencana mengimpor sebanyak 2 juta ekor sapi perah dan sapi pedaging hingga tahun 2029. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menyatakan bahwa impor tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan program Makan Bergizi Gratis.
Kebijakan ini berpotensi merugikan para peternak lokal. Seharusnya, pemerintah mendorong kedaulatan pangan dengan memberdayakan produksi dalam negeri agar dapat mendukung program MBG. Jika sejalan dengan konsep hilirisasi, program ini akan terintegrasi dengan upaya industrialisasi nasional, menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan sekaligus memperkuat perekonomian rakyat.
Seharusnya, program ini dirancang dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif, mencakup seluruh lapisan masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa MBG tidak hanya menjadi kebijakan populis yang bersifat sementara, tetapi benar-benar menjadi upaya nyata dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan ketimpangan sosial secara struktural.