Kota Bima, NTB - bimakita || Pemagaran dan penimbunan ruas jalan lingkar dua jalur Pantai Amahami sepanjang kurang lebih 50 meter masih menjadi perdebatan di masyarakat. Klaim bahwa lahan tersebut telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) menimbulkan polemik dan pertanyaan besar terkait status kepemilikan serta legalitasnya.
![]() |
Jalan lingkar dua jalur amahami yang menjadi polemik dan telah dipagari oleh oknum warga pemilik SHM |
Dilansir dari Tambora Info (19/3), saat menemui Kasi Pengadaan Tanah dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bima, Yudi Prasetio, menanggapi persoalan ini dengan menyatakan bahwa pihaknya pernah diundang oleh Penjabat (PJ) Wali Kota Bima, Mukhtar, pada tahun 2024 untuk membahas penerbitan sertifikat tanah atas nama seorang warga berinisial BC di kawasan tersebut. Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kejaksaan, Pengadilan, dan Polri.
“Kami diundang oleh PJ Wali Kota Bima untuk dimintai penjelasan terkait dokumen pengadaan tanah skala kecil, yang masih menjadi kewenangan Pemerintah Kota. Saat itu, hadir juga pihak Kejaksaan, Pengadilan, dan Polri,” ujar Yudi (19/3)
Yudi mengakui bahwa tanah tersebut memang telah memiliki SHM, namun ia tidak mengingat tanggal pasti penerbitannya.
“Saya lupa tahun berapa sertifikat itu dibuat, nanti akan saya cek kembali,” katanya.
Lebih lanjut, Yudi menjelaskan bahwa penertiban lahan hanya bisa dilakukan apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Dan hingga saat ini, pihaknya belum mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai status tanah tersebut, baik dari pemilik lahan maupun Pemerintah Kota Bima.
“Jika tidak sesuai ketentuan, tentu bisa dilakukan penertiban. Namun, kita juga harus melihat dasar hukumnya. Sampai hari ini, sepertinya belum ada kejelasan dari Pemkot terkait kesimpulan mereka mengenai status tanah tersebut,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa tugas BPN hanya sebatas menyelesaikan administrasi pertanahan, sedangkan pembebasan lahan dan aspek lainnya menjadi kewenangan Pemerintah Kota.
“BPN hanya menangani aspek administrasi pertanahan. Apakah tanah tersebut sudah dibebaskan atau belum, kami tidak tahu. Dokumen terkait ada di Pemkot. Saat dipaparkan di Pemkot sebelumnya, memang ada bagian yang menjorok ke jalan. Namun, itu tidak menjadi masalah jika sudah ada kejelasan terkait pembayaran, ganti rugi, atau jika lahan tersebut diserahkan secara cuma-cuma,” pungkasnya.
Hingga saat ini, masyarakat masih menunggu kejelasan terkait status tanah yang telah dipagar dan ditimbun tersebut. Polemik ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses pengadaan dan sertifikasi tanah untuk menghindari konflik di kemudian hari.