Mengapa Indonesia Hobi Gonta Ganti Kurikulum ?

Advertisement

Mengapa Indonesia Hobi Gonta Ganti Kurikulum ?

20 Apr 2025



Oleh :  Ririe aiko (Penulis, Pengajar dan Ghost Writer) - Instagram : Ririe_aiko


Dalam dunia pendidikan Indonesia, satu hal yang sering terjadi dan seolah menjadi "kebiasaan" adalah gonta-ganti kurikulum. Hampir setiap periode kepemimpinan menteri pendidikan baru, maka bersiaplah para guru, siswa, dan orang tua menghadapi sistem belajar yang berubah lagi. Kurikulum 1994, lalu KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kemudian KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dilanjut Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka, semua datang silih berganti. Tapi, apakah perubahan ini benar-benar berdampak signifikan pada kualitas pendidikan di Indonesia?


Kalau kita tengok negara maju seperti Jepang, mereka tidak terlalu sering mengganti kurikulum. Bukan berarti sistem mereka sempurna, tapi pendekatan yang stabil dan konsisten dalam pengembangan pendidikan membuat Jepang mampu mencetak generasi muda yang terampil, berkarakter, dan tangguh menghadapi tantangan global. Anak-anak Jepang dikenal disiplin, cerdas, dan memiliki keterampilan hidup yang baik. Semua itu dibangun lewat sistem yang matang dan tidak mudah diubah hanya karena gonta-ganti pemimpin.


Lalu, kenapa Indonesia justru sebaliknya?


Pertama, perubahan kurikulum di Indonesia sering kali berangkat dari semangat perbaikan yang terburu-buru. Ada semacam dorongan untuk "menyelesaikan" masalah pendidikan secara instan lewat kebijakan baru, tanpa benar-benar melakukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas kurikulum yang sedang berjalan. Padahal, membangun pendidikan bukan urusan lima tahun, melainkan kerja jangka panjang lintas generasi.


Kedua, gonta-ganti kurikulum juga berdampak pada kesiapan tenaga pengajar. Setiap kali kurikulum berganti, guru harus mengikuti pelatihan baru, menyesuaikan perangkat ajar, dan mengubah gaya mengajar mereka. Tidak semua guru bisa cepat beradaptasi, terutama di daerah yang minim fasilitas dan dukungan. Akhirnya, alih-alih meningkatkan kualitas pembelajaran, perubahan kurikulum justru membuat proses belajar-mengajar menjadi tidak stabil.


Ketiga, biaya yang dikeluarkan negara untuk mengganti kurikulum bukan jumlah kecil. Setiap pergantian membutuhkan anggaran untuk pelatihan guru, cetak ulang buku, hingga penyediaan infrastruktur pendukung. Jika dihitung, berapa banyak dana yang bisa dialihkan untuk peningkatan kualitas guru, pemerataan akses pendidikan, atau pemenuhan gizi anak-anak di daerah tertinggal?


Jepang bisa menjadi cermin untuk kita. Mereka menanamkan pendidikan karakter sejak dini, membiasakan anak-anak menjaga kebersihan, menghormati sesama, dan bertanggung jawab terhadap tugas mereka. Pelajaran-pelajaran ini tidak banyak berubah dari dulu hingga sekarang. Fokus utama mereka adalah pembentukan manusia seutuhnya, bukan sekadar mengejar nilai akademik. Bahkan sistem pendidikan Jepang didesain untuk mendidik anak menjadi manusia mandiri sebelum menjadi manusia pintar.


Indonesia sebenarnya tidak kekurangan ide brilian. Banyak kurikulum yang, secara konsep, sangat menjanjikan. Kurikulum Merdeka misalnya, mengedepankan fleksibilitas dan minat siswa. Tapi, jika implementasinya tidak matang dan hanya sekadar menjadi proyek besar yang belum tuntas, maka ia akan bernasib sama seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya dilupakan sebelum sempat berkembang.


Sudah waktunya Indonesia berhenti menjadikan kurikulum sebagai proyek lima tahunan. Kita perlu konsistensi, bukan eksperimentasi terus-menerus. Pemerintah seharusnya lebih fokus mengevaluasi efektivitas kurikulum yang sedang berjalan, memperbaiki sistem pelatihan guru secara berkelanjutan, serta memperkuat pendidikan karakter sejak dini.


Mari belajar dari negara-negara yang berhasil membangun sistem pendidikannya secara stabil. Kita tidak perlu meniru semuanya, tapi setidaknya bisa mengambil esensi penting: bahwa keberhasilan pendidikan tidak selalu datang dari seringnya mengganti sistem, tetapi dari seberapa konsisten dan serius kita membangun fondasi yang kuat. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan proyek musiman.


Dilansir : https://www.kompasiana.com/erika37118/6802efaeed64152d176d46b2/mengapa-indonesia-hobi-gonta-ganti-kurikulum-refleksi-pendidikan-negara-maju?page=all